Selasa, 27 November 2012

Hujan Di Kampung Baru


Tiga tahun sudah saya lalu lalang di kampus merah, hari ini pertama kali saya tahu dibelakang kampus, yang jaraknya tidak jauh ada sebuah tempat namanya kampung baru...
Kampung baru ini hanya terdiri dari satu rumah.
ehh bukan rumah, definisi rumah itu terlalu jauh berbeda dari  apa yang menjadi tempat  tinggal mereka. Tempat ini disebut kampung baru karena merupakan tanah baru yang bisa ditumpangi untuk hidup, setelah sebelumnya mereka “diminta” pindah oleh pemilik tanah yang lama karena tempat yang mereka tinggali akan dijadikan kandang sapi.

“Assalamu alaikum” kata kak ancha mengawali kunjugan kami siang itu. 
walaikum salam jawab seorang perempuan setengah baya yang kurang lancar berbahasa Indonesia itu, saya mengekor dibelakang kak ancha disusul mas alief yang berjalan lambat sambil matanya menyapu bersih setiap inci tempat tinggal yang tidak simetris itu. Sama seperti mereka berdua yang baru ku kenal, dunia kecil dibelakang kampus ini pun baru ku  selami bahwa mereka orang-orang yang dipinggirkan oleh kerasnya hidup, mereka ini benar-benar ada…sungguh ada..bukan Cuma sebuah gambar  yang ku anggap hiperbola kemiskinan yang kadang kala ku tonton sambil  melahap susu dan roti sebelum berangkat kuliah. 
 
Lama berselang seorang perempuan yang sudah renta dimakan usia datang sambil mendorong sebuah becak rusak berisi gelas plastik, kertas-kertas kotor dan basah, kantong kresek dan beberapa tabung gas kecil yang sudah berisi jentik nyamuk. .itu bukan sampah..tapi barang bekas yang ia temukan didepan ruko-ruko disepanjang jalan Hamsi, Btn Antara, Dan Perintis. Ia adalah nenek suwardi (suwardi seorang anak kecil) begitu saya menyebutnya, karena menanyakan nama orang tua masih agak menggangu lidah dan nilai dikepalaku. 

Gelas plastik ini 1000 satu . .katanya, seribu satu buah nek ? bukan..seribu satu kilo..berarti sekitar 50 gelas plastik baru dapet seribu rupiah. Oh..hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sambil kadang-kadang saya menjaga pandanganku dari Boy (seekor anjing kecil yang tinggal dengan mereka) yang sedang tidur ditanah hitam seharga 70.000 ribu per truk kecil. Harga yang sangat mahal yang harus dikeluarkan untuk menimbun rawa-rawa sebagai lantai tempat tinggalnya.

Sore datang bersama hujan yang turun ke atas spanduk bekas yang dijadikan atap “rumah” nya. Nenek mengambil jerigen 5 liter yang digunakannya untuk menampung air hujan di ”atap rumahnya” air ini untuk masak dan keperluan lainnya. Anak perempuan dari nenek (ibunya suwardi) bercerita pada kami. "Biar malam nak,  nenek pasti keluar  juga  tadah air. kadang nenek marah-marah juga kalau sudah bangun tengah malam mau tadah air ehh..tiba-tiba hujannya berhenti", tutur  ibu suwardi sambil tertawa. sungguh ia menceritakannya sambil tertawa.

Apa saya juga harus ikut tertawa ?

atau bolekah saya tertawa ?



  (Foto oleh Alief  Umangi Jawantha)



Makassar, 22 November 2012
                                               

2 komentar

Alief Umangi Jawantha mengatakan...

saya jadi tertarik menulis tentang ini :)
nice word

Catatan Ara mengatakan...

menulis mi ki..

makasih.. :)

mas alief sering2 saja ngambil gambar yang bagus, ntr saya minta lagi deh..hehehe

© Catatan Ara
Maira Gall