Tiga tahun sudah
saya lalu lalang di kampus merah, hari ini pertama kali saya tahu dibelakang
kampus, yang jaraknya tidak jauh ada sebuah tempat namanya kampung baru...
Kampung baru ini
hanya terdiri dari satu rumah.
ehh bukan rumah, definisi rumah itu terlalu jauh berbeda dari apa yang menjadi tempat tinggal mereka. Tempat ini disebut kampung baru karena merupakan tanah baru yang bisa ditumpangi untuk hidup, setelah sebelumnya mereka “diminta” pindah oleh pemilik tanah yang lama karena tempat yang mereka tinggali akan dijadikan kandang sapi.
ehh bukan rumah, definisi rumah itu terlalu jauh berbeda dari apa yang menjadi tempat tinggal mereka. Tempat ini disebut kampung baru karena merupakan tanah baru yang bisa ditumpangi untuk hidup, setelah sebelumnya mereka “diminta” pindah oleh pemilik tanah yang lama karena tempat yang mereka tinggali akan dijadikan kandang sapi.
“Assalamu alaikum”
kata kak ancha mengawali kunjugan kami siang itu.
walaikum salam jawab seorang perempuan setengah baya yang kurang lancar berbahasa Indonesia itu, saya mengekor dibelakang kak ancha disusul mas alief yang berjalan lambat sambil matanya menyapu bersih setiap inci tempat tinggal yang tidak simetris itu. Sama seperti mereka berdua yang baru ku kenal, dunia kecil dibelakang kampus ini pun baru ku selami bahwa mereka orang-orang yang dipinggirkan oleh kerasnya hidup, mereka ini benar-benar ada…sungguh ada..bukan Cuma sebuah gambar yang ku anggap hiperbola kemiskinan yang kadang kala ku tonton sambil melahap susu dan roti sebelum berangkat kuliah.
walaikum salam jawab seorang perempuan setengah baya yang kurang lancar berbahasa Indonesia itu, saya mengekor dibelakang kak ancha disusul mas alief yang berjalan lambat sambil matanya menyapu bersih setiap inci tempat tinggal yang tidak simetris itu. Sama seperti mereka berdua yang baru ku kenal, dunia kecil dibelakang kampus ini pun baru ku selami bahwa mereka orang-orang yang dipinggirkan oleh kerasnya hidup, mereka ini benar-benar ada…sungguh ada..bukan Cuma sebuah gambar yang ku anggap hiperbola kemiskinan yang kadang kala ku tonton sambil melahap susu dan roti sebelum berangkat kuliah.
Lama berselang
seorang perempuan yang sudah renta dimakan usia datang sambil mendorong sebuah
becak rusak berisi gelas plastik, kertas-kertas kotor dan basah, kantong kresek
dan beberapa tabung gas kecil yang sudah berisi jentik nyamuk. .itu bukan
sampah..tapi barang bekas yang ia temukan didepan ruko-ruko disepanjang jalan
Hamsi, Btn Antara, Dan Perintis. Ia adalah nenek suwardi (suwardi seorang anak kecil)
begitu saya menyebutnya, karena menanyakan nama orang tua masih agak menggangu
lidah dan nilai dikepalaku.
Gelas plastik ini 1000 satu . .katanya, seribu satu buah nek ? bukan..seribu satu kilo..berarti sekitar 50 gelas plastik baru dapet seribu rupiah. Oh..hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sambil kadang-kadang saya menjaga pandanganku dari Boy (seekor anjing kecil yang tinggal dengan mereka) yang sedang tidur ditanah hitam seharga 70.000 ribu per truk kecil. Harga yang sangat mahal yang harus dikeluarkan untuk menimbun rawa-rawa sebagai lantai tempat tinggalnya.
Gelas plastik ini 1000 satu . .katanya, seribu satu buah nek ? bukan..seribu satu kilo..berarti sekitar 50 gelas plastik baru dapet seribu rupiah. Oh..hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sambil kadang-kadang saya menjaga pandanganku dari Boy (seekor anjing kecil yang tinggal dengan mereka) yang sedang tidur ditanah hitam seharga 70.000 ribu per truk kecil. Harga yang sangat mahal yang harus dikeluarkan untuk menimbun rawa-rawa sebagai lantai tempat tinggalnya.
Sore datang bersama
hujan yang turun ke atas spanduk bekas yang dijadikan atap “rumah” nya. Nenek mengambil
jerigen 5 liter yang digunakannya untuk menampung air hujan di ”atap rumahnya” air
ini untuk masak dan keperluan lainnya. Anak perempuan dari nenek (ibunya
suwardi) bercerita pada kami. "Biar malam nak,
nenek pasti keluar juga tadah air. kadang nenek marah-marah juga
kalau sudah bangun tengah malam mau tadah air ehh..tiba-tiba hujannya berhenti", tutur ibu suwardi sambil tertawa. sungguh ia menceritakannya
sambil tertawa.
Apa saya juga harus
ikut tertawa ?
atau bolekah saya
tertawa ?
(Foto oleh Alief Umangi Jawantha)
Makassar, 22 November 2012
2 komentar
saya jadi tertarik menulis tentang ini :)
nice word
menulis mi ki..
makasih.. :)
mas alief sering2 saja ngambil gambar yang bagus, ntr saya minta lagi deh..hehehe
Posting Komentar