Suleha,
Tidak diketahui bagaimana cerita hidupnya tentang ada atau tidaknya pria
sebagai tanda evolusinya dari perempuan cilik menjadi gadis remaja. Ia hanya
sibuk bekerja keras pagi dan malamnya sejak merantau ke kota kecil di ujung
timur negeri ini, Biak.
Rantau
adalah pilihannya setelah ia ditinggal mati oleh ayah-bundanya. Tiap harinya ia
lalu lalang di pasar lama, sebuah pasar yang ramai orang Bugis-Makassar
berdomisili, menurut jiwa mereka “dagang”.
Terhimpit
diantara jejeran toko-toko cindremata, warung klontong, dan beberapa warung
makan. Ada sebuah warung jahit. Deru mesin jahit berpacu dengan dentang jarum
jam, jarum pada mesin itu tak bosan-bosannya bolak-balik seperti kereta api
pada lintasannya. Mesin jahit itu dikemudikan oleh seorang pria berkulit putih
dengan rambut ikal yang tampak senada dengan alisnya yang tebal. Pria itu Tunru
namanya.
Tanpa
diketahui oleh Suleha, Tunru diam-diam sering memperhatikan Suleha lewat di
depan warung jahitnya. Tunru diam-diam jatuh hati. Tapi Tunru bukanlah orang
yang hanya larut dalam cinta yang bisu, yang hanya diam-diam merindu dan
mendoakan. Tunru mungkin memahami bahwa cinta adalah keberanian mengambil
kesempatan. Maka bergegaslah ia melamar Suleha melalui tante Suleha.
Tante
dari Suleha kemudian menyampaikan lamaran tersebut dan berharap Suleha mau
menerima lamaran sebab Tunru diketahuinya adalah laki-laki yang baik, sholeh
dan pekerja keras. Suleha awalnya ragu, akan tetapi akhirnya ia menerimanya.
Begitulah
Suleha yang shalihah, akhirnya menikah dan pertamakalinya melihat sang mempelai
pria pada pesta perkawinannya. Di pelaminan, sesekali Suleha mencuri lihat dan menatap lekat-lekat lelaki
yang menjadi suaminya itu.
Tahun-tahun
berlalu, Tante dari Suleha ternyata benar. Tunru adalah lelaki yang tepat.
Tunru dan Suleha hidup bahagia dalam kesederhanaan. Anak pertama mereka adalah seorang perempuan
bernama Rahmatia. Setahun kemudian mereka kembali dikaruniai anak perempuan
yang diberi nama Kasmintang. Barulah 5 tahun kemudian lahir seorang anak laki-laki
yang diberi nama Saudi.
Tunru
yang seorang penjahit sekaligus pedagang pakaian itu bekerja dengan rajin
hingga berhasil mengumpulkan rejeki yang cukup untuk membiayai Suleha pergi
berhaji terlebih dulu. Sepulang berhaji,
Suleha dan Tunru dikaruniai lagi seorang anak perempuan yang diberi nama
Arabia.
Belum
cukup sang anak berumur setahun. Tunru dipanggil pulang oleh Sang Pencipta. Suleha
akhirnya bekerja keras membanting tulang demi menghidupi empat orang anaknya
yang masih kecil-kecil. Anak tertuanya, Rahmatia baru berumur 11 tahun waktu
itu.
Suleha
bukan wanita manja. Ia tidak pernah mengumbar kata cinta pada suaminya. Mungkin
ia adalah wanita yang pemalu dibalik sikapnya yang tegas dan mandiri. Hingga
kini hingga Tunru telah berpulang tidak sekalipun pernah terdengar ia
mengungkapkan cinta pada Tunru dalam bentuk kata.
Usia
Suleha masih muda ketika ditinggal mati oleh Tunru. Beberapa lamaran kembali datang padanya
dengan macam alasan. Adapula kata orang, “menikah lagi saja Suleha, biar ada
yang bantu besarkan anak-anakmu”. Suleha tetap kekeh, ia tidak pernah menikah
lagi.
***
Di
sepertiga malam, aku terbangun. Sepertinya aku dengar lantunan ayat-ayat suci ibu. Aku melihat sekeliling, tidak ada ibu disini.
Aku hanya sendiri, di dalam kamar kos yang tidak terlalu luas, mungkin aku
rindu pada ibu yang jauh disana, rindu yang kusimpan rapi sejak merantau kuliah.
Kubuka lemari pakaian tepat disamping kasurku. Lalu aku ambil sarung ibu,
kucium dalam-dalam. Ada aroma alami ibu disana. Aroma yang kuhapal sejak kecil.
Entah
sejak kapan aku selalu melakukan itu kalau aku rindu ---mencium sarung ibu---.
Mungkin karena sejak kecil ketika aku belum pintar bicara, di sepertiga
malam ketika aku terbangun selalu kudapati ibu dengan mukenah putihnya tengah
melantunkan ayat-ayat suci. Diantara doanya sering kudengar nama kakak-kakakku,
namaku, dan namanya. Nama seorang pria yang tidak pernah kukenal. Pria yang sarungnnya selalu dicium ibu ketika rindu.
Selalu...
hampir
disetiap sepertiga malam hingga aku dewasa. Selalu...kudengar nama pria itu
dalam doa ibu. Nama pria itu “Tunru”.
Begitu
cara ibu mencintai ayahku.
Mencintai
bukan karena melihat rupanya, hartanya, keturunannya, ataupun kedudukannya.
Kelak..
Aku
ingin mencintai seperi itu..
Seperti
ibu mencintai ayah.
Taukahkah
kau kekasih akhirat ?
Ia
adalah kekasih yang kita dipertemukan di dunia
setia
hingga definisi kasih dan cinta adalah kepulangan kepada sang pemilik cinta.
Kakak-kakakku-Ibu-Ayah.
Semoga
kelak kita bersama menuai rindu, mencecap bahagia di taman Surga-Nya. Aku
mencintai kalian karena Allah.
_Arabia Tunru_
Tidak ada komentar
Posting Komentar