Rabu, 11 Februari 2015

Sarung Rindu



Suleha, Tidak diketahui bagaimana cerita hidupnya tentang ada atau tidaknya pria sebagai tanda evolusinya dari perempuan cilik menjadi gadis remaja. Ia hanya sibuk bekerja keras pagi dan malamnya sejak merantau ke kota kecil di ujung timur negeri ini, Biak.

Rantau adalah pilihannya setelah ia ditinggal mati oleh ayah-bundanya. Tiap harinya ia lalu lalang di pasar lama, sebuah pasar yang ramai orang Bugis-Makassar berdomisili, menurut jiwa mereka “dagang”.

Terhimpit diantara jejeran toko-toko cindremata, warung klontong, dan beberapa warung makan. Ada sebuah warung jahit. Deru mesin jahit berpacu dengan dentang jarum jam, jarum pada mesin itu tak bosan-bosannya bolak-balik seperti kereta api pada lintasannya. Mesin jahit itu dikemudikan oleh seorang pria berkulit putih dengan rambut ikal yang tampak senada dengan alisnya yang tebal. Pria itu Tunru namanya.

Tanpa diketahui oleh Suleha, Tunru diam-diam sering memperhatikan Suleha lewat di depan warung jahitnya. Tunru diam-diam jatuh hati. Tapi Tunru bukanlah orang yang hanya larut dalam cinta yang bisu, yang hanya diam-diam merindu dan mendoakan. Tunru mungkin memahami bahwa cinta adalah keberanian mengambil kesempatan. Maka bergegaslah ia melamar Suleha melalui tante Suleha.
Tante dari Suleha kemudian menyampaikan lamaran tersebut dan berharap Suleha mau menerima lamaran sebab Tunru diketahuinya adalah laki-laki yang baik, sholeh dan pekerja keras. Suleha awalnya ragu, akan tetapi akhirnya ia menerimanya.

Begitulah Suleha yang shalihah, akhirnya menikah dan pertamakalinya melihat sang mempelai pria pada pesta perkawinannya. Di pelaminan, sesekali Suleha  mencuri lihat dan menatap lekat-lekat lelaki yang menjadi suaminya itu.

Tahun-tahun berlalu, Tante dari Suleha ternyata benar. Tunru adalah lelaki yang tepat. Tunru dan Suleha hidup bahagia dalam kesederhanaan.  Anak pertama mereka adalah seorang perempuan bernama Rahmatia. Setahun kemudian mereka kembali dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Kasmintang. Barulah 5 tahun kemudian lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Saudi.

Tunru yang seorang penjahit sekaligus pedagang pakaian itu bekerja dengan rajin hingga berhasil mengumpulkan rejeki yang cukup untuk membiayai Suleha pergi berhaji terlebih dulu.  Sepulang berhaji, Suleha dan Tunru dikaruniai lagi seorang anak perempuan yang diberi nama Arabia.

Belum cukup sang anak berumur setahun. Tunru dipanggil pulang oleh Sang Pencipta. Suleha akhirnya bekerja keras membanting tulang demi menghidupi empat orang anaknya yang masih kecil-kecil. Anak tertuanya, Rahmatia baru berumur 11 tahun waktu itu.

Suleha bukan wanita manja. Ia tidak pernah mengumbar kata cinta pada suaminya. Mungkin ia adalah wanita yang pemalu dibalik sikapnya yang tegas dan mandiri. Hingga kini hingga Tunru telah berpulang tidak sekalipun pernah terdengar ia mengungkapkan cinta pada Tunru dalam bentuk kata.

Usia Suleha masih muda ketika ditinggal mati oleh Tunru.  Beberapa lamaran kembali datang padanya dengan macam alasan. Adapula kata orang, “menikah lagi saja Suleha, biar ada yang bantu besarkan anak-anakmu”. Suleha tetap kekeh, ia tidak pernah menikah lagi.

***
Di sepertiga malam, aku terbangun. Sepertinya aku dengar lantunan ayat-ayat suci ibu.  Aku melihat sekeliling, tidak ada ibu disini. Aku hanya sendiri, di dalam kamar kos yang tidak terlalu luas, mungkin aku rindu pada ibu yang jauh disana, rindu yang kusimpan rapi sejak merantau kuliah. Kubuka lemari pakaian tepat disamping kasurku. Lalu aku ambil sarung ibu, kucium dalam-dalam. Ada aroma alami ibu disana. Aroma yang kuhapal sejak kecil.

Entah sejak kapan aku selalu melakukan itu kalau aku rindu ---mencium sarung ibu---.  Mungkin karena sejak kecil ketika aku belum pintar bicara, di sepertiga malam ketika aku terbangun selalu kudapati ibu dengan mukenah putihnya tengah melantunkan ayat-ayat suci. Diantara doanya sering kudengar nama kakak-kakakku, namaku, dan namanya. Nama seorang pria yang tidak pernah kukenal. Pria yang sarungnnya selalu dicium ibu ketika rindu. Selalu...
hampir disetiap sepertiga malam hingga aku dewasa. Selalu...kudengar nama pria itu dalam doa ibu. Nama  pria itu “Tunru”.

Begitu cara ibu mencintai ayahku.
Mencintai bukan karena melihat rupanya, hartanya, keturunannya, ataupun kedudukannya.

Kelak..
Aku ingin mencintai seperi itu..
Seperti ibu mencintai ayah.

Taukahkah kau kekasih akhirat ?
Ia adalah kekasih yang kita dipertemukan di dunia
setia hingga definisi kasih dan cinta adalah kepulangan kepada sang pemilik cinta.
Kakak-kakakku-Ibu-Ayah.
Semoga kelak kita bersama menuai rindu, mencecap bahagia di taman Surga-Nya. Aku mencintai kalian karena Allah.

_Arabia Tunru_

Tidak ada komentar

© Catatan Ara
Maira Gall